16 October 2006

Jadi ‘Expatriate’ di negeri orang

Jadi ‘Expatriate’ di negeri orang

Sewaktu dulu bekerja di Jakarta, saya sering lihat banyak bule-bule seliweran di kantor-kantor jangkung. Necis dan bergaya. Banyak juga yang muda-muda. Mereka itu kaum expatriate yang kerja di perusahaan-perusahaan baik lokal maupun internasional. Ada juga yang kerja di LSM-LSM atau lembaga lain. Big boss di kantor dulu juga satu orang bule dari Adelaide Australia. Manajer saya langsung juga pernah seorang bule perempuan dari New Zealand.

Mereka semua bergaji tinggi. Manajerku saja dulu dapat fasilitas berupa serviced apartemen di Hilton, mobil, dan tentu saja gaji yang lumayan dalam bentuk dollar Amerika.

Tapi tidak semua expatriate itu berkulit putih. Manajerku setelah si bule New Zealand adalah orang Phillipina. Ada juga beberapa staf lain di kantor yang berasal dari Phillipina. Bagaimana dengan gaji dan fasilitas bagi mereka? Kebanyakan gajinya tidak setinggi bule-bule itu tapi tetap saja masih jauh lebih bagus dari gaji para staf lokal.

Bagaimana dengan kondisi sebaliknya? Maksud saya, para pekerja dari Indonesia yang kerja di luar negeri? Sayangnya, kebanyakan orang lebih memilih menggunakan kata TKI atau TKW yang lebih bernada ‘derogatory’ alias merendahkan. Menurut Webster Dictionary, “Expatriate” berasal dari bahasa Latin expatria (ex:out of - patria:native country). An expatriate is someone temporarily or permanently residing in a country and culture other than that of their upbringing or legal residence, ini kata Wikipedia.

Jadi sebenarnya TKI atau TKW itu adalah kaum expatriate juga. Tidak beda sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang memilih untuk tinggal sementara (untuk bekerja) di tempat yang bukan tanah airnya.
Di Inggris, mereka yang tergolong Indonesian expatriates ini lumayan juga jumlahnya. Dari beberapa yang saya kenal, ada yang bekerja di lembaga pendidikan/universitas baik sebagai pengajar atau researcher (seperti saya), di bank, di perusahaan telekomunikasi, hotel, perusahaan IT-related, konsultan engineering, sampai di area yang kurang formal seperti di restoran dll. Banyak juga mereka yang kerja di bidang “domestic” alias menjadi pembantu rumah tangga. Semuanya “Expatriates“.

Mereka yang beruntung mempunyai job skills yang laku di job market bisa masuk ke pekerjaan yang bergaji tinggi. Perusahaan minyak adalah salah satu jenis perusahaan yang menawarkan gaji tinggi. Telekomunikasi dan IT juga menawarkan tingkat gaji yang lumayan.

Namun demikian, expatriates di Inggris tidaklah mempunyai struktur gaji yang berbeda dengan para staf lokal (e.g. orang Inggris sendiri). Gaji expatriates sama saja dengan gaji staf lokal. Mungkin ada satu-dua pembedaan seperti fasilitas cuti pulang ke negeri asal dengan ongkos tiket dibayarkan oleh perusahaan. Tapi hanya itu.

Hak dan kewajiban para expatriates sama saja dengan “orang lokal” alias mereka yang berwarga kenegaraan Inggris atau negara-negara EU. Pajak, National Insurance, Pension, sama saja harus dibayar dengan rate yang sama.

Hak-hak pekerja dan keluarganya umumnya sama. Fasilitas kesehatan di NHS, Public School, dll bisa kita gunakan tanpa biaya sama halnya dengan penduduk asli Inggris. Ada beda sedikit sebenarnya dalam hal bahwa para pekerja asing ini tidak bisa mendapat beberapa state support seperti yang bisa didapat oleh orang Inggris seperti Job Seeker Allowance, Tax Credit, dll. Baru setelah mendapat status permanent residence di passport kita, fasilitas-fasilitas ini bisa didapat dari pemerintah Inggris.

Bagaimana dengan hak-hak para domestic worker asing di Inggris? Sama saja dengan ‘expatriates’ yang lain. Mereka punya jam kerja yang jelas, bukan 24 jam seperti di Indonesia. Mereka juga punya hak cuti yang jelas. Gaji mereka juga harus sesuai dengan minimum wage yang standar di Inggris. Pokoknya semuanya sama. Jadi, bekerja sebagai pembantu rumah tangga bukanlah pekerjaan yang rendah.

TKI/TKW atau Expatriates? Sama saja bung!

No comments: