15 October 2006

Harga Diri yang Belum Mati

Republika Online : http://www.republika.co.id


Harga Diri yang Belum Mati
Oleh : Zaim Uchrowi

Tampaknya hanya sebuah pelunasan utang. Yakni, pelunasan utang sebesar 3,2 miliar dolar AS. Tak ada yang istimewa dalam pelunasan itu kecuali bahwa waktunya dipercepat. Tetapi, tidakkah kita merasakan adanya kegagahan sebagai bangsa dari pelunasan utang itu?

Dana Moneter Internasional (IMF), sesuai namanya, adalah badan dunia yang mengurusi moneter. Misi yang diungkapkan untuk mendirikannya tentu baik. Yakni, untuk menolong negara-negara yang kesulitan uang. Sejumlah negara maju mengumpulkan uangnya di badan itu. Jika ada negara kesulitan uang, IMF siap mengucurkan pinjaman. Bukan gratis tentu. Selain harus mengembalikan pinjaman dan bunganya, peminjam juga harus bersedia memenuhi berbagai persyaratan yang diajukannya. Itu yang harus kita terima setelah krisis moneter 1997.

Maka, sebagai bangsa, kita pun menerima uang pinjaman dan persyaratannya. Lebih dari itu, kita harus pula menerima gaya Camdesus, pimpinan IMF dulu. Saat Soeharto membungkuk meneken pinjaman, Camdesus berdiri 'mengawasi' dengan tangan bersedekap. Banyak orang berkomentar: Itu bukan sekadar urusan pinjam-meminjam. Itu gaya arogan negara maju yang mendikte negara berkembang. Itu pertanda kolonialisasi alias penjajahan baru. Sebuah penjajahan yang lebih berbahaya karena terselubung tanpa kehadiran fisik sang penjajah.

Kita tentu tak merasa terjajah. Merasa terdikte pun kita tidak. Kita cuma mengikuti saran wajib dari IMF. Ketika badan dunia itu minta kita melepas kendali atas rupiah, maka kendali rupiah langsung kita lepaskan sebebas-bebasnya. Ketika IMF minta kita melakukan penyehatan perbankan, kita langsung mengandangkan bank-bank serta para penunggaknya ke BPPN. Kita berharap, setelah semua saran itu dipenuhi, Indonesia bakal segera bangkit dan kembali maju. Sebuah harapan yang jelas keliru. Sebuah ketergantungan tidak akan memberikan hasil, kecuali kehancuran yang lebih dalam.

Semestinya kita tahu prinsip itu. Tapi, kita mengabaikannya. Kita justru membebek pada setiap kehendak IMF. Hasilnya, nilai tukar rupiah meluncur deras hingga terbanting keras. Sebuah keadaan yang membuat seluruh bangsa miskin seketika, kecuali bagi mereka yang diam-diam telah menghimpun dolar. Sementara itu, penyehatan perbankan telah menghasilkan penjarahan besar-besaran secara legal uang negara melalui konsep 'penjaminan' simpanan di bank. Begitu besar nilai penjarahan itu, sehingga negara harus menutupinya lagi dengan utang. Seluruh bangsa tentu yang menanggung utang baru tersebut. Kemiskinan meluas, kualitas hidup masyarakat memburuk.

Pedulikah IMF? Seluruh akibat hasil rekomendasi IMF itu tentu harus kita tanggung sendiri. IMF hanya akan peduli bagaimana pinjaman beserta bunga dapat dikembalikan. Salahkah IMF? Juga tidak. Memang begitulah perilaku mereka. Yang salah adalah diri kita sendiri yang masih saja mengidap mental bangsa terjajah, meskipun telah sekian lama merdeka. Mental terjajah itu yang membuat kita tidak merasa hina menerima bantuan. Bahkan, untuk terus bergantung pada bantuan. Mental terjajah yang membuat kita sering menertawakan dan bahkan mengecam setiap upaya menumbuhkan kekuatan sendiri.

Mental itulah yang membuat kita rela menghancurkan langkah Habibie membangun industri teknologi tinggi. Padahal, kita tahu, industri itu sangat penting buat mengangkat bangsa ke tempat yang lebih terhormat dalam pergaulan dunia. Mental terjajah pula yang membuat kita sampai sekarang enggan mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Kita merasa tidak layak memiliki PLTN, dan kita berlindung di balik alasan keemanan. Padahal kita tahu, ketahanan energi kita sudah sangat dan sangat kritis. Sebagaimana banyak negara seperti Prancis, PLTN-lah kini dapat dijadikan solusi paling realistis.

Mental terjajah telah sedemikian kronis menghinggapi diri kita, hingga kita tak lagi punya harga diri dan nyali untuk mampu membuat langkah sendiri. Pelunasan utang IMF lebih cepat semestinya ini menjadi seperti secercah sinar. Yakni, sinar yang memperlihatkan bahwa harga diri dan nyali kita sebagai bangsa merdeka belumlah mati.

1 comment:

IRVANY IKHSAN said...

memang harusnya begitu